publications

Pengaturan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

By : Agung Santoso, Frendy T. Yoga

04-Jan-2021

Pada tanggal 5 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yang kemudian diundangkan pada tanggal 2 November 2020, menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, (“UU No. 11/2020”) yang juga dikenal secara luas dengan sebutan Omnibus Law. UU No. 11/2020 merupakan suatu undang-undang yang disahkan dengan tujuan untuk mendorong penyerapan tenaga kerja Indonesia seluas-luasnya melalui perubahan pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (“UMKM”), peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.[1]

 

A. TINJAUAN UMUM

UU No. 11/2020 dirumuskan sebagai suatu undang-undang komprehensif yang mengatur ketentuan baru dan/atau merubah ketentuan dalam undang-undang sektoral yang telah ada, mengingat pengaturan untuk penyerapan tenaga kerja masih tersebar di berbagai undang-undang sektoral. Pengaturan tersebut termuat dalam ruang lingkup UU No. 11/2020 yang meliputi materi substansi berikut:[2]

 

  1. Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
  2. Ketenagakerjaan;
  3. Kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM;
  4. Kemudahan berusaha;
  5. Dukungan riset dan inovasi;
  6. Pengadaan tanah;
  7. Kawasan ekonomi;
  8. Investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
  9. Pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
  10. Pengenaan sanksi.

Khusus pembahasan mengenai kemudahan perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM diatur secara komprehensif dalam Bab V UU No. 11/2020. Pengaturan materi pokok tersebut dibagi menjadi 10 bagian sebagai berikut:

  1. Umum;
  2. Koperasi;
  3. Kriteria UMKM;
  4. Basis Data Tunggal;
  5. Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil (“UMK”);
  6. Kemitraan;
  7. Kemudahan Perizinan Berusaha;
  8. Kemudahan Fasilitas Pembiayaan dan Insentif Fiskal;
  9. Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan Hukum, Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi Pembukuan/Pencatatan Keuangan dan Inkubasi
  10. Partisipasi UMK dan Koperasi pada Infrastruktur Publik;

Untuk mengatur materi-materi substansi berkaitan dengan UMKM di atas, UU No. 11/2020 mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam 3 (tiga) undang-undang, yaitu:

  1. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (“UU Koperasi”);
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UU UMKM”); dan
  3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (“UU Jalan”).

 

1. PERUBAHAN KETENTUAN DALAM UU NO. 11/2020

Pengaturan ketentuan mengenai kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan UMKM dalam UU No. 11/2020 dirumuskan dengan (i) perubahan ketentuan undang-undang yang berlaku dan (ii) penetapan ketentuan baru dalam UU No. 11/2020.

 

1. Perubahan Ketentuan Undang-Undang yang Berlaku.

 

Sebagaimana disebutkan di atas, UU No. 11/2020 mengubah, menghapus dan/atau menetapkan ketentuan-ketentuan baru dalam 3 (tiga) undang-undang yang telah ada, yaitu:

 

a. UU Koperasi

Beberapa ketentuan dalam UU Koperasi diubah oleh UU No. 11/2020 sebagai berikut:

 

Pengaturan

Sebelum UU No. 11/2020

Setelah UU No. 11/2020

Pasal 6 – Syarat Pembentukan

Koperasi Primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.

Koperasi Primer dibentuk paling sedikit oleh 9 (sembilan) orang.

 

Penjelasan Pasal 17 ayat (2) – Buku Daftar Anggota

Cukup jelas.

Buku daftar anggota koperasi dapat berbentuk dokumen tertulis atau dokumen elektronik.

 

Pasal 21 – Perangkat Organisasi

Perangkat organisasi Koperasi terdiri dari:

a.   Rapat Anggota;

b.   Pengurus;

c.   Pengawas

(1) Perangkat organisasi Koperasi terdiri dari:

a.    Rapat Anggota;

b.    Pengurus; dan

c.    Pengawas

 

(2) Selain memiliki perangkat organisasi Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah.

 

Pasal 22 – Rapat Anggota

(1) Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.

(2) Rapat Anggota dihadri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar.

(1)   Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.

(2)   Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.

(3)   Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan secara daring dan/atau luring.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.

 

Pasal 43 – Lapangan Usaha

(1)   Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.

(2)   Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi.

(3)   Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.

 

(1)   Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.

(2)  Usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara tunggal usaha atau serba usaha.

(3)   Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi dalam rangka menarik masyarakat menjadi anggota Koperasi.

(4)   Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.

(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Koperasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 44A – Koperasi Syariah

Tidak ada

(1)   Koperasi dapat menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

(2)   Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai dewan pengawas syariah.

(3)   Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang atau lebih yang memahami syariah dan diangkat oleh Rapat Anggota.

(4)   Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Pengurus serta mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan prinsip syariah.

(5)   Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya mendapatkan pembinaan atau pengembangan kapasitas oleh Pemerintah Pusat dan/atau Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

 

Perubahan ketentuan dalam UU Koperasi berdasarkan UU No. 11/2020 di atas, pada dasarnya dilakukan dalam rangka (i) mempermudah pembentukan koperasi dengan menurunkan jumlah anggota minimal yang dipersyaratkan dalam pembentukan koperasi, (ii) pembaharuan ketentuan UU Koperasi untuk mengakomodir perkembangan teknologi, (iii) pelaksanaan kegiatan usaha tunggal maupun serba usaha oleh koperasi dan (iv) mengatur dan mengakui koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di tingkat undang-undang.

Sebelumnya, dasar hukum penyelenggaraan kegiatan usaha koperasi berdasarkan prinsip syariah ditemukan pada peraturan di tingkat Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (“Permen KUKM”), yaitu Permen KUKM No. 11/PER/M/KUKM/XII/2011 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi, sebagaimana terakhir diubah dengan Permen KUKM No. 5 Tahun 2019 (“Permen KUKM No. 11/2017”). Permen KUKM No. 11/2017 juga telah mewajibkan koperasi yang melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah untuk memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dewan pengawas syariah.[3]

Saat ini, hanya terdapat pengaturan pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah oleh koperasi sebagaimana tercantum dalam Permen KUKM No. 11/2017. Dengan demikian, pengesahan UU No. 11/2020 bermaksud untuk menjadi payung hukum untuk pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah secara umum, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.[4]

 

b. UU UMKM

Beberapa ketentuan dalam UU UMKM diubah oleh UU No. 11/2020, sebagai berikut:

 

Pengaturan

Sebelum UU No. 11/2020

Setelah UU No. 11/2020

Pasal 6 – Kriteria UMKM

1.   Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

a.    Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b.    Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta Rupiah).

2.   Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

a.    Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000 (lima puluh juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b.    Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000 (tiga ratus juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta Rupiah).

3.   Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:

a.    Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000 (lima ratus juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh milyar juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b.    Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah).

4.   Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan ayat (2) huruf a, huruf b, serta ayat (3) huruf a, huruf b nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.

 

1.   Kriteria UMKM dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan  kriteria setiap sektor usaha.

2.   Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria UMKM diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 12 – Perizinan Berusaha

1.   Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk:

a.    menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu, dan

b.    membebaskan biaya perizinan bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya perizinan untuk Usaha Kecil.

 

2.   Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha diatur dengan PP.

 

1.   Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk:

a.    menyederhanakan tata cara dan jenis Perizinan Berusaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu, dan

b.    membebaskan biaya Perizinan Berusaha bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya Perizinan Berusaha untuk Usaha Kecil.

2.   Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara Perizinan Berusaha diatur dalam PP.

 

Pasal 21 – Pembiayaan UMKM

1.   Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil;

4.   Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.

5.   Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

 

1.   Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil;

 

4.   Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.

5.   Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada Dunia Usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

 

Pasal 25 –Kemitraan

1.   Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.

2.   Kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.

3.   Menteri dan Menteri Teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.

 

Dihapus dan diatur tersendiri dalam Pasal 90 UU No. 11/2020.

 

1.   Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan level usaha.

2.   Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.

3.   Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.   Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan antara Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil.

5.   Pemerintah Pusat mengatur pemberian insentif kepada Usaha Menengah dan Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.

6.   Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 26 – Pola Kemitraan

Kemitraan dilaksanakan dengan pola:

a.    inti-plasma;

b.    subkontrak;

c.    waralaba;

d.    perdagangan umum;

e.    distribusi dan keagenan; dan

f.     bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourching).

 

Kemitraan dilaksanakan dengan pola:

a.    inti-plasma;

b.    subkontrak;

c.    waralaba;

d.    perdagangan umum;

e.    distribusi dan keagenan

f.     rantai pasok; dan

g.    bentuk-bentuk kemitraan lain.

Pasal 30 – Perdagangan Umum

1.   Pelaksanaan kemitraan dengan pola perdagangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh Usaha Besar yang dilakukan secara terbuka.

 

1.     Pelaksanaan kemitraan dengan pola perdagangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran atau penyediaan lokasi usaha dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh Usaha Besar yang dilakukan secara terbuka.

Pasal 32A – Kemitraan dengan Pola Rantai Pasok

Tidak ada.

Dalam pelaksanaan kemitraan dengan pola rantai pasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f, dapat dilakukan melalui kegiatan dari Usaha Mikro dan Kecil oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar, paling sedikit meliputi:

a.  pengelolaan perpindahan produk yang dilakukan oleh perusahaan dengan penyedia bahan baku;

b.  pendistribusian produk dari perusahaan ke konsumen; dan/atau

c.   pengelolaan ketersediaan bahan baku, pasokan bahan baku serta proses fabrikasi.

 

Penjelasan Pasal 35 – Larangan pengendalian

Cukup jelas.

1.   Yang dimaksud “memiliki” adalah adanya peralihan kepemilikan secara yuridis atas badan usaha/perusahaan dan/atau aset atau kekayaan yang dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.

2.   Yang dimaksud “menguasai” adalah adanya peralihan penguasaan secara yuridis atas kegiatan usaha yang dijalankan dan/atau aset atau kekayaan dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.

 

         

Berdasarkan matriks perubahan di atas, secara garis besar perubahan UU UMKM oleh UU No. 11/2020 adalah sebagai berikut:

Pertama, perubahan kriteria penggolongan UMKM dengan memperluas variabel penggolongan selain kekayaan bersih dan hasil penjualan. UU No. 11/2020 juga menetapkan kriteria UMKM yang akan dipertimbangkan dalam penggolongan UMKM masing-masing sektor usaha, yang akan diatur dalam peraturan pemerintah. Pendelegasian pengaturan kepada peraturan pemerintah tersebut dilakukan untuk kemudahan revisi kriteria UMKM mengikuti kondisi ekonomi.[5]

Kedua, sinkronisasi penggunaan istilah Perizinan Berusaha dan Pemerintah Pusat, dalam undang-undang yang diubah oleh UU No. 11/2020.

Ketiga, penguatan Koperasi, Usaha Mikro, dan Kecil (“UMK”) yang dilakukan melalui: (i) pergeseran pola kemitraan yang semulanya antara usaha besar dengan UMKM, menjadi antara usaha besar dan usaha menengah dengan Koperasi dan UMK; (ii) pemberian insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan; (iii) perluasan pola kemitraan untuk mencakup rantai pasok, yang termasuk perpindahan dan distribusi produk, serta  pasokan bahan baku; (iv) evaluasi dan pengawasan pelaksanaan kemitraan oleh pemerintah; dan (v) penjelasan pengaturan larangan pemilikan dan penguasaan UMKM dalam hubungan kemitraan.

 

c. UU Jalan

UU No. 11/2020 hanya mengamandemen UU Jalan dengan menyisipkan Pasal 53A mengenai penyediaan tempat promosi dan pengembangan UMKM pada jalan tol.[6] Pasal 53A tersebut mewajibkan ketersediaan tempat promosi dan pengembangan UMKM, sedikitnya 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial pada jalan tol antarkota, baik untuk jalan tol yang telah beroperasi maupun jalan tol dalam perencanaan dan konstruksi.

Kewajiban alokasi lahan area komersial pada jalan tol sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 10/PRT/M/2018 Tahun 2018 tentang Tempat Istirahat dan Pelayanan pada Jalan Tol (“Permen PUPR No. 10/2018”). Permen PUPR No. 10/2018 mewajibkan Badan Usaha Jalan Tol (“BUJT”) untuk mengalokasikan lahan komersial untuk UMK dan koperasi, sekurang-kurangnya:

 

  1. 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan komersial, pada jalan tol yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi; dan
  2. 20% (dua puluh persen) dari total luas lahan komersial secara bertahap, pada jalan tol yang telah beroperasi.

 

Dengan adanya perubahan UU Jalan oleh UU No. 11/2020, BUJT untuk jalan tol yang telah beroperasi harus menaikkan alokasi lahan komersial untuk UMKM hingga menjadi 30% (tiga puluh persen). Selain itu, pihak yang berhak atas alokasi lahan komersial tersebut juga diperluas oleh UU No. 11/2020 untuk mencakup usaha menengah, yang sebelumnya tidak disebutkan dalam Permen PUPR No. 10/2018.

 

  1. Penetapan Ketentuan Baru dalam UU No. 11/2020

 

Selain mengubah ketentuan dalam UU yang berlaku, UU No. 11/2020 juga mengatur ketentuan tersendiri mengenai UMKM di dalam UU No. 11/2020, sebagai berikut:

a. Basis data tunggal

Berdasarkan UU No. 11/2020, pemerintah pusat dan daerah akan menyelenggarakan sistem informasi dan pendataan UMKM yang terintegrasi, yang menghasilkan suatu basis data tunggal UMKM.[7] Basis data tersebut akan digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan mengenai UMKM, dan akan dibentuk dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejauk berlakunya UU No. 11/2020, sebagaimana akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

 b. Pengelolaan terpadu UMK

UU No. 11/2020 mengamanatkan pemerintah untuk mengimplementasikan pengelolaan terpadu UMK, yang merupakan penataan klaster kumpulan kelompok UMK. Pengelompokan UMK tersebut berdasarkan keterkaitan dalam hal:

 

  • Suatu rantai produk umum;
  • Ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa; atau
  • Penggunaan teknologi yang serupa dan saling melengkapi secara terintegrasi.

 

Penataan dan penentuan klaster tersebut akan dilakukan dalam program yang disusun oleh pemerintah dalam rangka penguatan UMK. UMK melalui pengelolaan terpadu tersebut juga akan mendapatkan pendampingan, dukungan manajemen, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana dari pemerintah, melalui fasilitas yang meliputi lahan lokasi klaster, aspek produksi, infrastruktur, rantai nilai, pendirian badan hukum, sertifikasi dan standardisasi, promosi, pemasaran, digitalisasi, dan penelitian dan pengembangan. Sehubungan dengan pengelolaan terpadu UMK ini, UU No. 11/2020 mengamanatkan pengaturan yang lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah.

c. Kemudahan Perizinan Berusaha

UU No. 11/2020 pada dasarnya memberikan kemudahan perizinan berusaha untuk UMK, yaitu pemberian Nomor Induk Berusaha (“NIB”) setelah adanya pendaftaran yang dilakukan oleh UMK secara elektronik melalui sistem Online Single Submission (OSS). NIB merupakan sistem perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha dari UMK. Perizinan tunggal yang dimaksud dalam UU No. 11/2020 meliputi izin usaha, standar nasional Indonesia (SNI), dan sertifikasi jaminan produk halal. Namun, apabila kegiatan usaha UMK tersebut dinilai memiliki risiko menengah atau tinggi terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan serta lingkungan, maka UMK wajib untuk memperoleh sertifikasi standar dan/atau izin yang berkaitan, yang akan difasilitasi oleh pemerintah. UU No. 11/2020 mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai perizinan berdasarkan risiko kegiatan usaha serta kemudahan perizinan berusaha untuk UMK akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

 

d. Kemudahan Fasilitas Pembiayaan dan Insentif Fiskal

Sehubungan kemudahan fasilitas pembiayaan dan insentif fiskal kepada UMK, UU No. 11/2020 menetapkan 3 kebijakan utama, yaitu:

 

Pertama, pemberian insentif fiskal kepada UMK, yaitu mencakup:

 

  • kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari pemerintah;
  • keringanan atau pembebasan biaya dalam pengajuan perizinan berusaha;
  • insentif ekspor untuk UMK yang berorientasi ekspor;
  • insentif pajak penghasilan.

Namun, pemberian insentif fiskal sebagaimana diatur dalam UU No. 11/2020 tersebut, dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berkaitan. Dengan demikian, untuk merelasasikan pemberian insentif yang ditetapkan dalam UU No. 11/2020, perlu diatur secara lebih lanjut dalam ketentuan perpajakan yang berkaitan.

 Kedua, pemberian kemudahan dan penyederhanaan proses untuk UMK, yang meliputi:

  • pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual;
  • impor bahan baku dan bahan penolong industri (apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri); dan/atau
  • fasilitas ekspor.

Terkait kemudahan dan penyederhanaan proses untuk UMK ini juga akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah yang diamanatkan oleh UU No. 11/2020.

Ketiga, dalam meningkatkan akses fasilitas pembiayaan oleh UMK, UU No. 11/2020 juga menetapkan bahwa kegiatan usaha dari UMK sendiri dapat dijadikan jaminan kredit program. Namun, tidak terdapat penjelasan, pengaturan lebih lanjut maupun pendelegasian pengaturan ketentuan ini ke dalam peraturan pemerintah.

 

e. Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan hukum, Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi Pembukuan/Pencatatan keuangan dan Inkubasi

UU No. 11/2020 juga mengatur mengenai kebijakan yang harus dijalankan oleh pemerintah secara aktif dalam rangka penguatan UMK, sebagai berikut:

Pertama, pemerintah pusat akan mengalokasikan dana alokasi khusus untuk mendukung pendanaan bagi pemerintah daerah, yang akan digunakan oleh pemerintah daerah untuk pemberdayaan dan pengembangan UMK, sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan terkait.

Kedua, baik pemerintah pusat maupun daerah (sesuai kewenangannya) akan (i) menyediakan bantuan dan pendampingan hukum bagi UMK; (ii) memberikan pelatihan dan pendampingan pemanfaatan sistem/aplikasi pembukuan pencatatan/keuangan yang memberikan kemudahan untuk UMK; dan (iii) pendampingan untuk meningkatkan UMKM sehingga mampu untuk mengakses: pembiayaan alternatif untuk UMKM pemula, pembiayaan dari dana kemitraan, bantuan hibah pemerintah, dana bergulir; dan tanggung jawab sosial perusahaan.

Ketiga, penyelenggaraan inkubasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, hingga masyarakat. Kegiatan inkubasi tersebut bertujuan untuk menciptakan usaha baru, menguatkan dan mengembangkan UMK, serta peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi.

Keempat, pengalokasian oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah paling sedikit 40% (empat puluh persen) produk/jasa UMK dan Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah pusat maupun daerah, yang akan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terkait yang diamanatkan UU No. 11/2020.

f. Partisipasi UMK dan Koperasi pada Infrastrukstur Publik

Selain perubahan pada UU Jalan mengenai kewajiban penyediaan tempat promosi dan pengembangan UMKM pada jalan tol, kewajiban serupa juga ditetapkan untuk infrastruktur publik lainnya, yaitu terminal, bandar udara, Pelabuhan, stasiun kereta api, tempat istirahat dan infrastruktur publik lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannnya.[8] Namun, pengalokasian sedikitnya 30% (tiga puluh persen) dari luas tempat perbelanjaan dan/atau promosi strategis pada infrastruktur publik di atas, hanya diberikan untuk UMK dan Koperasi (tidak untuk usaha menengah).

 

[1] Pasal 3 UU No. 11/2020

[2] Pasal 4 UU No. 11/2020

[3] Pasal 2 dan Pasal 15 Permen KUKM No. 11/2017.

[4] Bagian 4 Matriks Analisis dalam Naskah Akademik UU No. 11/2020.

[5] Bagian 4 Matriks Analisis dalam Naskah Akademik UU No. 11/2020.

[6] Pasal 103 UU No. 11/2020.

[7] Pasal 88 UU No. 11/2020

[8] Pasal 104 UU No. 11/2020.

 

 

This summary only highlights certain tax issues under the Omnibus Law and may not be complete and comprehensive.

For more specific inquiry regarding the tax section of Omnibus Law or other emerging legal issues in Indonesia, please contact the following lawyers:

 

 


Share